Jumat, 22 April 2011

Analisis Ekonomi Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta Indonesia

Judul : Analisis Ekonomi Terhadap Penyelesaian Pelanggaran Hak Cipta Indonesia


Pengarang/Penulis : Budi Agus Riswandi


Alamat/Sumber Jurnal :
http://www.perfspot.com/docs/doc.asp?id=46110
(e-mail: budi@fh.uii.ac.id)

Review Jurnal :

Hukum hendaknya tidak hanya dilihat sebagai suatu tekhnik untuk menyatakan pendapat, tetapi hukum adalah bagian untuk mendorong tujuan kepentingan sosial. Dalam kelangkaan ekonomi mengasumsikan bahwa individu atau masyarakat akan berusaha untuk memaksimalkan segala sesuatu yang ingin mereka capai dengan melakukan sesuatu sebaik mungkin dalam keterbatasan sumber. Hukum hak cipta merupakan salah satu bagian dari hukum dalam bidang hak kekayaan intelektual.

Hukum hak cipta adalah sekumpulan peraturan-peraturan yang mengatur dan melindungi kreasi manusia dalam lingkup seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Ide dasar sistem hak cipta adalah untuk melindungi wujud hasil karya manusia yang lahir karena kemampuan intelektualnya. Perlindungan hukum ini hanya berlaku kepada ciptaan yang telah mewujud secara khas sehingga dapat didengar, dilihat atau dibaca.

Di Indonesia, pengaturan hukum sejumlah hak cipta diatur dan didasarkan pada ketentuan UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Di dalam UU Hak Cipta permasalahan hukum berhubungan dengan masalah karya cipta. Dari mulai ruang lingkup hak cipta, subjek hak cipta hingga pada sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta. Berkembangnya pemikiran atas analisis ekonomi terhadap hukum pada prinsipnya telah memberikan wacana baru dalam bidang hukum, terutama hukum ekonomi.

Selanjutnya berhubungan dengan analisis ekonomi terhadap penyelesaian pelanggaran hak cipta, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam hal penyelesaian pelanggaran hak cipta apabila ditinjau dari pendekatan analisis ekonomi, Nampak adanya aturan yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. Di lain pihak, dengan adanya aturan UU No. 19  Tahun 2002 yang relatif baru ini ternyata mampu menghadirkan aturan-aturan yang mampu memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan, baik si pencipta, pemegang hak cipta, dan pemerintah.

Tinjauan Kriminologi Terhadap Penebangan Hutan Secara Liar (Illegal Logging)

Judul     : Tinjauan Kriminologi Terhadap Penebangan Hutan Secara Liar (Illegal Logging)

Pengarang/Penulis  : Heryanti, Universitas Haluoleo Kendari

Sumber:  http://jurnal.unhalu.ac.id/download/heryanti/TINJAUAN%20KRIMINOLOGI%20TERHADAP%20PENEBANGAN%20HUTAN%20SECARA%20LIAR.pdf

Isi Review :
                  Masalah penegakan hukum dapat dibahas dari segi peraturan perundang-undangan,segi aparat penegak hukum dan segi kesadaran masyarakat yang terkena peraturan itu. Kajian terhadap UUPLH dan perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan mengungkapkan banyak kelemahan dan kerancuan perumusan yang memerlukan pemahaman secara proporsional, khususnya dalam menerapkan sanksi pidana yang bertujuan untuk menjerakan para pelanggar hukum lingkungan supaya tidak mengulangi kesalahannya.
Lingkungan hidup adalah Anugrah Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat merupakan Karunia dan Rahmat-Nya wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan masyarakat serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Oleh karena itu, hakikat sanksi pidana adalah sarana atau alat untuk memidana(menghukum) secara fisik dan materiil para pencemar lingkungan yang terbukti bersalah melanggar hukum. Akan tetapi sanksi pidana dalam hukum lingkungan adalah sebagai alternatif sanksi terakhir (ultimum remedium) dan bukan pula sanksi utama (premium remedium) setelah sanksi administratif dan sanksi perdata tidak mampu diterapkan dan menjerakan para pencemar lingkungan hidup. Penanggulangan atau “penyembuhan” yang dilakukan oleh hukum pidana merupakan penyembuhan/pengobatan simptomatis bukan pengobatan kausatif sehingga pemidanaan (pengobatan) terhadap para pelanggar hukum bersifat individual/personal dan tidak bersifat fungsional/struktural (Arif, 1998 :49).
Sebab, pemanfaatan lingkungan untuk pembangunan adalah sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasidan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.
Makna hakiki penegakan hukum (law enforcement) adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum disini adalah pemikiran-pemikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum yang bakal diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Rahardjo, 1983:15). Penegakan hukummemuat aspek legalitas dari suatu peraturan atau undang-undang yang diterapkan pada setiap orang dan atau badan hukum dengan adanya perintah, larangan dan sanksi yang dapat dikenakan terhadap para pelanggarnya yang terbukti bersalah berdasarkan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Dalam rangka penegakan hukum lingkungan yang berkaitan erat dengan kemampuan petugas penegak hukum dan keputusan warga masyarakat terhadap peraturan hukum lingkungan yang berlaku (ius constitutum) dalam pelaksanaannya di lapangan (iusoperatum) dan meliputi tiga bidang hukum, yaitu administrasi, perdata dan pidana pada perusakan/pencemaran lingkungan. Upaya penyelematan lingkungan yang asri tergantung pada kesadaran bersama, baik pemerintah, pengusaha dan dunia usaha maupun masyarakat setempat yang peduli dengan lingkungan hijau sebagai warisan dan titipan anak cucu kelak.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Fenomena Global : Suatu Kajian Aspek Hukum

Judul : Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Fenomena Global: Suatu Kajian Aspek Hukum

Pengarang/Penulis : Hasim Purba, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Sumber/Link: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17175/1/equ-agu2006-11%20%281%29.pdf

Isi Review:
              Salah satu fenomena global yang sedang hangat dibicarakan adalah pelaksanaan program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Sebagai negara kepulauan yang terletak pada posisi silang dunia, negara Indonesia yang diapit dua Benua yaitu Benua Asia dan Australia serta dua Samudera yaitu Samudera Fasifik dan Samudera Hindia, menjadikan Indonesia berada pada posisi strategis ditengah garis khatulistiwa. Posisi geografis yang strategis tersebut menjadikan Indonesia sangat sulit menghindar dari interaksi masyarakat Internasional dalam lingkup global. Proses globalisasi juga berkembang saat ini dengan pola damai melalui pembentukan berbagai organisasi kerjasama perdagangan baik yang bersifat Internasional seperti GATT/WTO, GATS, maupun regional seperti APEC, AFTA, IMT-GT dan lain-lain.
INDONESIA DAN PERDAGANGAN GLOBAL
Awal tahun 1990-an merupakan suatu pembukaan era baru yang sangat historis dalam sejarah dunia modern. Perkembangan kehidupan global yang ditandai dengan timbulnya berbagai kelompok/blok kekuatan kerjasama ekonomi seperti GATT/WTO, Kerjasama Ekonomi Asia Fasifik (APEC), NAFTA (Persetujuan Perdagangan Bebas Amerika Utara), AFTA menuntut berbagai negara termasuk Indonesia untuk dapat bergabung dan bekerjasama dengan negaranegara lain yang tergabung dalam organisasi tersebut.
KEK SEBAGAI PELUANG DAN ANCAMAN
Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan.Salah satu bentuk kerjasama ekonomi yang pernahdikembangkan pemerintahan sebelumnya adalah Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dibeberapa Provinsi di Indonesia seperti: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu (KAPET) di Indonesia (Listiyorini, 2006: 15)

KEK sebagai Ancaman
Di samping kita menelaah KEK sebagai peluang, tentunya program KEK juga mengandung berbagai kelemahan yang dapat menjadi ancaman bagi negara penerima KEK termasuk seperti Indonesia. Berbagai aspek yang rentan berbenturan dengan program KEK perlu mendapat perhatian serius, seperti aspek hukum, aspek sosial budaya, aspek politik termasuk aspek pertahanan dan keamanan, jadi dengan demikian masalah KEK tidak tepat apabila kita hanya tinjau dari perspektif keuntungan ekonomi belaka, tapi berbagai aspek tersebut di atas juga harus mendapat telaahan secara proporsional.
Program Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai fenomena global sulit untuk dihempang, karena dalam program KEK terdapat dua pihak yang sebenarnya saling membutuhkan. Negara-negara maju sangat berkepentingan untuk mengembangkan jangkauan kegiatan perekonomiannya baik yang dilakukan secara Goverment to Goverment (G to G) maupun yang dilakukan oleh perusahaan Transnasional sebagai investor; sementara dipihak negara-negara berkembang atau negara-negara terbelakang pada umumnya membutuhkan dukungan investasi asing dalam mengolah sumber daya alam yang ada dinegerinya guna mengembangkan perekonomian negara yang bersangkutan. Namun dalam pelaksanaannya hubungan kerjasama penanaman investasi asing mengalami ketimpangan dalam pembagian keuntungan, di mana porsi keuntungan biasanya jauh lebih besar bagi negara investor, sehingga negara penerima investasi hanya memperoleh bagian yang sangat minimum; hal ini juga dikhawatirkan dalam praktek KEK yang akan dilaksanakan. Oleh karena itu pemerintah Indonesia harus mampu memperjuangkan posisi tawar kita, sehingga dalam pelaksanaan KEK, Indonesia juga memperoleh manfaat keuntungan yang signifikan dan proporsional, di samping itu Indonesia juga harus terhindar dari sapi perahan negara maju/investor asing dalam program KEK tersebut.

Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana Dalam Era Ekonomi Global

Judul : AKTUALISASI FUNGSI HUKUM PIDANADALAM ERA EKONOMI GLOBAL

Pengarang/Penulis : Natangsa Surbakti, SH.,MHum.Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta


Isi Review  :
            Liberalisasi perdagangan sebagai bagian dari proses menuju ekonomi global, menuntut pula dilakukan perubahan pada sistem hukum yang berlaku. Liberalisasi yang menandai beralihnya sistem ekonomi negara dari planned economy menuju market economy,mensyaratkan model pengaturan yang lebih sesuai dengan mekanis medan dinamik pasar yang bercorak liberal dan demokratis. Dalam situasi ekonomi yang berlangsung dalam bingkai marketeconomy, regulasi atau pengaturan aktivitas ekonomi dilakukan dengan memfungsikan hukum ekonomi serta ditopang oleh hukum pidana.
Perubahan corak ekonomi ini yang menuntut perubahan pada sistem hukumnya, tidak serta merta dapat berlangsung cepat dan mudah. Jika perubahan dalam pengelolaan aktivitas ekonomi dapat dilakukan dengan relatif mudah, maka fungsionalisasi sistem hukum baik hukum ekonomi maupun hukum pidana lebih memerlukan keseksamaan. Hal ini disebabkan, sistem hukum dimasa Orde Baru dengan model planned economy cenderung tidak memberikan jaminan kepastian hukum, sementara model marketeconomy sebagai model ekonomi masa mendatang di era ekonomi global dan pasar bebas, mensyaratkan dengan sangat adanya jaminan kepastian hukum ini.Untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum ini, reformasi hukum merupakan conditio sine qua non, prasyarat mutlak yangharus disiapkan. Hukum pidana sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, yang berfungsi mem-back up bekerjanya hukum ekonomi, dengan sendirinya merupakan bidang hukum yang harus mengalami banyak pembenahan mendasar, sehingga dapat memberikan jaminan kepastian hukum.

Senin, 04 April 2011

Perlindungan Hak-hak Konsumen pada Kasus Bahan Bakar Minyak (BBM)

Judul                               : Perlindungan Hak-hak Konsumen pada bahan bakar minyak (BBM)

Pengarang/Penulis         : Mochamad Soef, SH., S.HI
 
Alamat/Sumber Jurnal   : http://soef47.wordpress.com/2009/11/03/hukum-pengingkaran-perlindungan- hak-hak-konsumen-pada-kasus-bahan-bakar-minyak-bb


Isi Review                      : 
         Dalam pemenuhan bahan bakar minyak (BBM) ternyata banyak hak-hak konsumen yang dapat tidak dipenuhi sebagaimana mestinya oleh pemerintah seperti harga BBM dan elpiji yang terus meroket memperjelas beban masyarakat sebagai konsumen akan semakin berat. Sehubungan dengan itu diperlukan adanya pengaturan-pengaturan secara hukum untuk menentukan tanggung jawab pemerintah dalam melindungi hak-hak konsumen. 
         Berdasarkan pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan jasa tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pelaku usaha merupakan setiap orang perseorangan atau badan hukum yang didirikan dan bekedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan koperasi, BUMN, korporasi, importir, pedagang, distributor, dll.
         Dalam tatanan hukum positif di Indonesia terdapat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban konsumen yaitu pasal 4 dan 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Serta hak dan kewajiban pelaku usaha yang tertera pada pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999.

         Konsumen dilindungi haknya untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jasa yang digunakan. Banyaknya minyak oplosan yang beredar, harus menjadi perhatian pemerintah, karena hal itu tentu akan merugikan konsumen sebagai pemakai. Pelayanan yang benar dan jujur, serta tidak diskriminatif juga merupakan hak-hak konsumen yang harus diperhatikan.


Jumat, 01 April 2011

Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian

Pembatalan dan pelaksanaan suatu perjanjian
salah satu pihak (biasanya debitur atau pembeli yang berhubungan bisnis dengan perusahaan besar) tidak memiliki hak memilih yang berarti terhadap beberapa atau seluruh persyaratan kontrak;
persyaratan kontrak biasanya ditetapkan oleh pihak yang memiliki kedudukan kontraktual yang lebih kuat dihadapkan pada harapan-harapan pihak yang berkedudukan lebih lemah.
Pelaksanaannya:
1. dibuat agar suatu industri atau bisnis dapat melayani transaksi tertentu secara efisien, khususnya untuk digunakan dalam akti- vitas transaksional yang diperkirakan akan berfrekuensi tinggi;
2. dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang cepat bagi penggunanya, tetapi juga mampu memberikan kepastian hukum bagi pembuatnya;
3. demi pelayanan cepat, ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dan dipersiapkan untuk dapat digandakan dan ditawarkan dalam jumlah sesuai kebutuhan;
4. isi persyaratan distandarisir atau dirumuskan terlebih dahulu secara sepihak;
5. dibuat untuk ditawarkan kepada publik secara massal.

Sumber : http://evianthyblog.blogspot.com/2011/03/hukum-perjanjian-pembatalan-dan.html

Syarat Sahnya Perjanjian

1 Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah, kedua belah pihak yang membuat perjanjian setuju mengenai hal-hal yang pokok dalam kontrak.
2.Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Asas cakap melakukan perbuatan hukum, adalah setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa, ada beberapa pendapat, menurut KUHPerdata, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki,dan 19 th bagi wanita.
Menurut UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dewasa adalah 19 th bahi laki-laki, 16 th bagi wanita.
Acuan hukum yang kita pakai adalah KUHPerdata karena berlaku secara umum.
3.Adanya Obyek.
Sesuatu yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas.
4.Adanya kausa yang halal.
Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu sebab yang halal, atau dibuat dengan suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum.
 Sumber :  http://amelia27.wordpress.com/2008/12/03/syarat-sahnya-perjanjian-pasal-1320-kuhperdata/

Macam-macam Perjanjian

Ditinjau dari berbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) segi, yaitu:
1. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya
Secara garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional dibagi lagi ke dalam:
a. Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.
b. Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum atau universal.
2. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya
Penggolongan Perjanjian Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
a. Treaty Contract. Sebagai perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Perlu menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus dan tertutup menyangkut kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan saja, maka tidak ada relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai pihak di dalamnya dalam bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para pihak yang bersangkutan untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak ketiga untuk ikut serta di dalamnya.
b. Law Making Treaty. Sebagai perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya. Oleh karena itulah dalam konteks subjek hukumnya adalah negara, biasanya negara-negara perancang dan perumus perjanjian itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk ikut sebagai peserta atau pihak dalam perjanjian tersebut. Semakin bertambah banyak negara-negara yang ikut serta di dalamnya maka semakin besar pula kemungkinannya menjadi kaidah hukum yang berlaku umum. Law making treaty ini pun dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi:
i. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja.
ii. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diatur di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara di dunia.
iii. Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup masalah ataupun objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu kawasan tertentu saja.
3. Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya
Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a. Perjanjian Internasional yang melalui dua tahap. Perjanjian melalui dua tahap ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut pelaksanaannya sesegera mungkin diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Pada tahap perundingan wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang dirundingkan itu. Perumusan itu nantinya merupakan hasil kata sepakat antara pihak yang akhirnya berupa naskah perjanjian. Selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu tahap penandatangan, maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir dalam perjanjian dua tahap, mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati itu.
b. Perjanjian Internsional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu bukanlah merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian. Agar perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak tersebut mengikat bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan kepada pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau diratifikasi. Dengan dilalui tahap pengesahan atau tahap ratifikasi ini, maka perjanjian itu baru berlaku atau mengikat para pihak yang bersangkutan. Ditinjau dari sudut isi maupun materi dari perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap ini, pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsipil bagi para pihak yang bersangkutan. Hanya saja kriteria mengenai penting atau tidak pentingnya masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.
4. Perjanjian Internasional ditinjau dari jangka waktu berlakunya
Pembedaan atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa Perjanjian Internasional hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam hal Perjanjian Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit menetapkan batas waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sifat, maksud dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya, jika objek yang diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana mestinya, maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya. Ada memang perjanjian-perjanjian yang tidak menetapkan batas waktu berlakunya karena dimaksudkan berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang dan selama perjanjian itu masih dapat memenuhi keinginan para pihak atau masih mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan umum, namun sesungguhnya perjanjian ini tetap terbatas, yakni pada kebutuhan dan perkembangan zaman itu sendiri. Dilihat dari sudut materinya, corak perjanjian ini merupakan perjanjian yang mengandung kaidah hukum yang penting, terutama bagi para pihak yang bersangkutan.

sumber: http://gmuzayyin.blog.telkomspeedy.com/2008/12/31/sumber-hukum-internasional/

Hukum Perjanjian

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda), contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.
Istilah kontrak atau perjanjian dapat kita jumpai di dalam KUHP, bahkan didalam ketentuan hukum tersebut dimuat pula pengertian kontrak atau perjanjian. Disamping istilah tersebut, kitab undang-undang juga menggunakan istilah perikatan, perutangan, namun pengertian dari istilah tersebut tidak diberikan.
Pada pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian, adalah : suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Namun para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian perjanjian, Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. Ahli hukum lain mengemukakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang menimbulkan perikatan berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit, dalam arti luas suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dll, dan dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.
Jenis-jenis kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut ialah :
  • Berkaitan dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
    • Berkaitan dengan perjanjian syarat batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
  • Jika suatu perjanjian timbal balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam tulisan.
Pelaksanaan kontrak
Pengaturan mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338 ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.” Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
Asas yang mengikat dalam pelaksanaan kontrak
Hal-hal yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan kontrak ialah :
  1. Segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
  2. Hal-hal yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
  3. Bila suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
  1. Fungsi melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
  2. Fungsi menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan perjanjian yang menimbulkan kerugian
Pembelokan pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
  1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
  2. Terlambat memenuhi prestasi, dan
  3. Memenuhi prestasi secara tidak sah
Akibat munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi. Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak yang menyebabkan kerugian berupa :
  1. Pemenuhan perikatan
  2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi
  3. Ganti rugi
  4. Pembatalan persetujuan timbale balik, atau
  5. Pembatalan dengan ganti rugi
Syarat-syarat sah perjanjian
Suatu kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
     Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
2.  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
     Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka  yang berada dibawah pengampunan.
3.  Mengenai suatu hal tertentu
     Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.
4.  Suatu sebab yang halal
     Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

sumber : http://0wi3.wordpress.com/2010/04/20/hukum-perjanjian/

Hapusnya Perikatan

Hapusnya perikatan (ps 1381 KUHPdt) disebabkan:
a. Karena pembayaran
b. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
c. Karena pembaharuan hutang
d. Karena perjumpaan utang atau kompensasi
e. Karena pencampuran utang
f. Karena pembebasan utang
g. Karena musnahnya barang yang terutang
h. Karena batal atau pembatalan
i. Karena berlakunya syarat pembatalan
j. Karena lewat waktu atau kadaluarsa


http://www.scribd.com/doc/20976269/Definisi-Hukum-Perikatan

Wanprestasi dan akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni

1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

SUMBER :
http://kennysiikebby.wordpress.com/2011/03/07/wanprestasi-dan-akibat-akibatnya/